0 Comments

risheesonline – Bayangkan sebuah dongeng yang kita kenal sejak kecil—Cinderella, si gadis malang yang berubah jadi putri—dirombak total jadi kisah menyeramkan penuh darah, operasi sadis, dan obsesi kecantikan yang ekstrem. The Ugly Stepsister, film debut Emilie Blichfeldt, bukan cuma dongeng yang di-twist. Ini adalah kritik keras terhadap standar kecantikan yang tak manusiawi, dikemas dalam balutan body horror yang sangat disturbing.

Kisah Cinderella dari Mata Saudara Tiri

Film ini mengambil sudut pandang Elvira (Lea Myren), salah satu saudara tiri Cinderella yang selama ini dicap sebagai si “jelek dan jahat”. Tapi di sini, Elvira bukan penjahat. Justru dialah korban—dari ibunya yang perfeksionis (Ane Dahl Torp), dari masyarakat yang menyembah kecantikan, dan dari obsesi menjadi “layak” untuk pesta dansa kerajaan.

Elvira bukan gadis cantik. Ia punya jerawat, gigi tak rapi, tubuh besar, dan percaya bahwa satu-satunya jalan keluar dari kehidupannya yang kelam adalah… menjadi secantik saudara tirinya, Agnes (Thea Sofie Loch Næss). Tapi jalan menuju “cantik” bukan lewat sulap. Di dunia The Ugly Stepsister, itu artinya operasi tanpa anestesi, meminum cacing pita, menempelkan belatung untuk meluruhkan lemak, hingga prosedur mutilatif yang bikin perut mual.

Ketika Body Horror Bertemu Kritik Sosial

Jangan berharap adegan manis seperti sepatu kaca atau tarian romantis di istana. Yang kamu dapat justru prostetik menjijikkan, adegan operasi sadis, dan darah segentong. Tapi semua itu bukan tanpa makna. Emilie Blichfeldt menggunakan kekerasan visual bukan sekadar buat shock, melainkan sebagai bahasa sinematik untuk menyorot tekanan sosial terhadap tubuh perempuan.

Kita menyaksikan Elvira dipaksa menyesuaikan dirinya demi ekspektasi ibunya, demi cinta, dan demi validasi. Apakah ini terasa berlebihan? Justru tidak. Karena film ini berhasil menyindir bagaimana masyarakat kita yang “nyata” pun kadang tak jauh berbeda—dalam menilai seseorang hanya dari wajah dan bentuk tubuh.

Sinematografi yang Menggugah dan Menggertak

Secara visual, film ini luar biasa. Marcell Zyskind, sang sinematografer, membawa kita ke dalam dunia gothic yang gelap, mistis, dan sesekali terasa seperti mimpi buruk. Dominasi warna-warna biru keunguan, sorotan lampu lilin, dan makeup prostetik ala giallo 70-an membuat film ini jadi perpaduan antara keindahan dan kejorokan. Musiknya? Sintetik dan menusuk, mirip soundtrack film-film Argento.

Ada beberapa adegan yang begitu estetis dalam kebrutalannya—seperti saat Elvira “dilahirkan kembali” setelah prosedur modifikasi tubuh yang ekstrem. Ini bukan sekadar horor, ini puisi grotesk.

Akting yang Tak Biasa dari Lea Myren

Lea Myren patut diberi kredit tinggi. Ia berani tampil “jelek” secara total—jerawat palsu, braces, luka-luka, sampai ekspresi trauma yang begitu autentik. Transformasi emosional Elvira terasa sangat menyentuh dan membuat kita ikut empati, meski kadang juga jijik dan ngeri melihat apa yang ia lakukan pada tubuhnya sendiri.

Karakter Agnes, si Cinderella versi orisinal, juga tidak digambarkan sebagai pahlawan. Ia cantik, tapi juga rapuh. Ia terjebak dalam dunia yang sama dan menunjukkan bahwa bahkan “sang putri” pun tak lepas dari penderitaan akibat tuntutan tampil sempurna.

Bukan untuk Semua Penonton

Jelas, The Ugly Stepsister bukan tontonan keluarga. Ini film yang ekstrem, vulgar, dan kadang membuat perut mual. Tapi kalau kamu penggemar film-film body horror seperti Raw (Julia Ducournau) atau The Fly (David Cronenberg), film ini bisa jadi santapan nikmat—karena bukan cuma seram, tapi juga cerdas dan penuh lapisan makna.

Reaksi dari berbagai media pun positif. The Guardian menyebutnya sebagai “rekonstruksi dongeng yang jenius dan menjijikkan”. Vulture memuji pendekatan feminisnya, dan banyak kritikus menilai film ini sukses mengangkat isu body image dengan cara yang belum pernah ada sebelumnya.


Cinderella yang Jauh dari Bahagia

The Ugly Stepsister adalah kejutan tak terduga dari dunia indie horror. Ia memelintir cerita klasik menjadi kisah kelam tentang penderitaan perempuan di bawah tekanan kecantikan. Film ini brutal, tak kenal ampun, tapi juga sangat relevan di zaman sosial media dan budaya selfie seperti sekarang.

Jika kamu mencari film horor dengan pesan kuat, visual memukau, dan keberanian menggali sisi tergelap dari manusia—film ini layak masuk daftar tontonmu. Tapi bersiaplah: ini bukan dongeng sebelum tidur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts